23 Oktober 2023

(semi-colon)

aku tidak pernah tahu caranya keluar dari kesedihan ini. aku tidak pernah tahu caranya keluar dari kubangan abu tak berujung. aku tidak pernah tahu, dan mencari tahu. menumpuknya di ujung ruang, berkardus-kardus, hingga yang kulihat terakhir hanya hitam. tak tertolong. tak terurai. tak pernah selesai. semua rasa, dipendam begitu saja. menunggu meledak, menjadi bom yang bisa disulut dengan apapun. apapun. kapanpun. menyedihkan, bukan?

aku tidak pernah tahu caranya keluar dari kesendirian ini. ketika mereka mengulurkan tangan, yang kutahu hanya memeluk diriku sendiri dalam gelap. tenggelam. membiarkan diriku sendiri kehabisan oksigen. kehabisan alasan untuk hidup. kehabisan cara, untuk terus bertahan. sampai akhirnya mereka pun lelah. aku pun lelah. akhirnya menyerah. 

mungkin hari ini aku sedang kalah dalam peperangan dengan diriku sendiri. dengan kepala yang terus menertawakan. cih, si lemah. menangis dalam gelap, bahkan untuk alasan yang tidak bisa kuketahui dengan diriku sendiri. untuk apa aku bersedih? untuk siapa aku merasa tersakiti? untuk kapan masa yang terlewati? semuanya tergabung menjadi satu, benang-benang yang mengikat, tapi entah kapan bisa diurai. tidak tahu ujungnya. yang ada, semakin ditarik, semakin menggumpal. menyatu. tak tahu lagi mana yang menjadi akar. 

berharap ada gunting yang memutus rantai kesedihan ini
cara kilat. tercepat. 

bukankah terdengar menyedihkan? yang selalu berusaha kuat, berusaha serba-bisa. akhirnya hanya selalu bertahan dengan satu daftar musik. sad depressed tunes. untuk aku yang bahkan tidak tahu untuk apa aku bersedih. untuk apa aku menjadi biru.

is there someone... or somewhere... 
aku tidak tahu. menyerah. sepertinya lagi-lagi aku kalah. lagi-lagi aku ingin dipeluk. bukan lagi memeluk diri sendiri seraya berkata tidak apa-apa. semua ada akhirnya. mau senang, mau sedih

tidak apa-apa.
semuanya hanya sementara.
sedihmu, sedihku. sementara. 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar