12 November 2019

Passion.

I always love to listen to those people who talk about their passion atau hal-hal yang mereka kuasai bener-bener. Kayak... ada sparks in their eyes. Menggebu-gebu gitu ngomongnya. Lancar, gak pake mikir. Kayak semua hal itu udah di luar kepala aja. Bener-bener nafas dengan hal yang mereka suka itu.

Hari ini, habis wawancara principal (kayak CEO gitu kalo di perusahaan biasa, kalo di dunia arsi lebih awam yang punya itu dipanggilnya principal) buat tugas. Terus tanya-tanya some things, dan ya emang aku lebih banyak tanya sih soalnya pada malu-malu nanyanya. Kesel aku kan. Aku berasa banyak ngomong :(

Sumpah, aku suka banget dengerin orang cerita. Apalagi kalau itu tuh hal-hal yang mereka suka. Kayak ada "soul" in every words. Kemaren juga, sempet keluar sama adek kelas terus banyak dengerin dia ngomong tentang jurusannya dia yang jauh banget sama duniaku, dan dia seneng aja gitu sama jurusannya. Aku dengerinnya ngeri-ngeri sedep juga, tapi I fell in love with those sparks in his eyes pas ngomong hal yang dia suka. Kayak... itu tuh menarik aja.

Tiba-tiba, selesai wawancara, aku merasa kangen sama dunia jurnalistik. Kangen wawancara orang, kangen dengerin beda-beda orang dengan beda-beda cerita yang menarik, kangen jadi "haus" akan informasi, kangen segalanya. Beberapa waktu lalu, pas sumpah pemuda, temenku nostalgia di Twitter jaman kita SMA jadi anak "hijau" di ekskul jurnalistik tapi udah berani wawancara bupati. Sumpah, salah satu achievement ku dulu banget itu bisa wawancara "orang penting".

Dulu....
Aku mikir kudu masuk IPA kuliah. Andaikan....

Emang sih, aku masih banyak nyesel sama pilihanku. Apalagi pas lagi rajin-rajinnya ikut jadi decomentation & publication. Kayak.... wtf? Why didn't I choose yang berhubungan sama semua ini? Kenapa aku gak milih apa yang aku sendiri suka sampe aku cinta banget lah istilahnya? KENAPA SIH LINDA?!

Begonya kebangetan emang.

Oot banget ya?
Maafkeun.
Yang penting masih bahas passion sih. HAHAHAHA.

Terus tadi tuh, pas habis wawancara, temenku semacam salut. "Kok bisa sih lin kamu natap matanya langsung?" (Ps: principalku udah masih muda, ganteng lagi. Hehehehe)

Aku berterimakasih banget sama pengalamanku pernah jurnalistik sih. Kebiasaan buat liat orang straight to his/her eyes karena menurutku itu salah satu hal dimana kita ngehargain orang yang kita ajak obrol (apalagi kalo wawancara ya kan?). Ga peduli mau cewek atau cowok sih menurutku. Jadi kayak semuanya tuh kebiasaan aja. Even sama orang yang kusuka, kalo ngobrol ya aku sukanya liat orangnya langsung. Kecuali kalo lagi sepik-sepik ya. Hehe.

Tuh kan. Jurnalistik lagi.
Sedih aing. :(

I love to hear people about their passion,
meanwhile gue nyesel masihan sampe sekarang kenapa ga pursue my dream.:")

Sedihnya tuh dapet banget.

Udah deh. Jadi malah sedih dan nyesel. Hahahaha. Bye!

9 November 2019

// pilu membiru //

malang-melintang gelap masih menyelimuti. sekiranya malam, sudah berganti hari. walau kelam masih enggan dijamah mentari. aku masih terjaga, manakala dendangan yang merasuk ke dalam tulang-belulang. liriknya sederhana, namun terngiang memecah sunyi.

masih banyak yang belum sempat
aku katakan padamu

maaf, batinku.
beribu kali ia terulang dalam benak. sudah sejak lama terpendam kukubur paksa segala yang berhubungan dengannya. berulang kali niat kukumpulkan demi mengirim satu pesan yang selalu aku tasbihkan kala namanya terlintas, namun selalu gagal di tengah kewarasan yang berperang.

sesederhana satu kata, yang dipaksa bungkam karena waktu terus menggerus. namun malam... ah pagi. ya, pagi ini. lewat sudah sepertiga malam, dan namanya terus terngiang. tidak perlu kauucap, gemanya bahkan tidak pernah berhenti terpantul.

maaf, sekali lagi.
bilamana dia terluka saat aku juga berdarah. maaf. karena aku tidak dapat memberikan cinta yang sama besarnya kala itu. bersamanya, segalanya benar di waktu yang salah. menyebalkan, bukan? badai selalu berlalu, namun porak-poranda tersisa di ruang berbatas ini. dia selalu menggapai tanganku, yang sama-sama telah terluka.

aku masih ingat kala ia tersenyum di seberang. cantik. secerah pertama kali aku jatuh cinta padanya. namun kini, genggamnya sudah dimiliki orang lain. jari lentiknya sudah dipinang cincin bukan bertahta namaku. surainya yang gelap berkilau, tidak lagi mampu kucium mesra dalam kelamnya cinta yang membunuh.

dan satu dendangan itu kembali merasuk.
masih banyak yang belum sempat
aku sampaikan padamu

termasuk bahwa hatiku tidak pernah benar-benar sembuh. dan bahwa hatiku tidak mampu mengukir nama lain selain dirinya. walau dahulu, sepertinya aku menyia-nyiakan dirinya kala aku pun tidak mampu menyembuhkan diriku sendiri. dia ikut terombang-ambing antara cinta dan luka yang selalu kupersembahkan.

kini, segalanya telah berubah. bukan aku lagi yang ia beri senyum. bukan aku lagi tempat ia berbagi sukanya kala mentari berbahagia bersamanya. bukan aku lagi, bukan aku lagi. tidak akan pernah ada aku lagi di hidupnya.

namun, Tuhan—bila aku masih boleh menyebut nama-Mu, usai tahunan tidak lagi mencumbu rindu bersamanya, hatiku masih berdetak sama kerasnya saat pertama kali aku berikrar akan selamanya jatuh cinta padanya.

akhirnya aku lihat lagi
akhirnya aku temui
oh
tercekat lidahku

tak tergantikan 
walau kita tak lagi saling
menyapa


—awankelabu, jam tiga pagi kala namamu masih tidak beranjak dari hidupku.





[selamat mendengarkan pilu membiru oleh Kunto Aji
dan merangkai kata yang ingin kau sampaikan kepada
dia yang selalu kauharap telah kauberi segala kalimat
sebelum mereka hilang]

8 November 2019

self-destructive.

do you know what scares me to death?
realize that i am the biggest destruction for myself.

akhir-akhir ini, aku banyak refleksi diri sendiri. sebenernya, kalau mau jujur, aku sadar aku banyak nyakitin diri sendiri sama orang lain. tapi mungkin, aku banyak denial selama ini. mikirnya selalu "yang penting diri sendiri dulu aja". selalu gitu. sampai di satu titik, aku ngerasa banyak hal yang udah berlalu ya emang salahku.

aku selalu merasa i fall in too deep, dalam waktu yang cepat, sehingga dalam waktu yang cepat pula aku ngerasa 'bosen'. kayak... perasaanku habis gitu aja. hambar. and i left, without a real explanation. mungkin itu kenapa kalo pacaran, aku ga pernah setahun bahkan lebih. pernah sih, sekali. itu pun pada akhirnya beneran jadi temen karena ya senyaman itu jadi temen daripada pacar.

kayak sekarang.
have i told you i love this kind of guy, yang bikin sinting berbulan-bulan karena jauh-jauhan? yea. aku ngerasa i poured everything too fast in the beginning. all those poems about him, all those love I had, everything. I rushed everything. dan ketika it hit '3 bulan' thing, I feel.........empty? idk.

idk it's about 3 months thing,
atau karena aku pernah secara ga langsung 'mengucapkan' kalo aku sayang dia.
idk.

karena setiap kali aku gamblang sama perasaanku, the other day, i just feel so empty. kayak.... kalo aku bilang hal itu tuh, semua perasaan yang aku punya udah aku kasih aja. dan ga meninggalkan jejak di aku sehingga yang aku rasain udah ga ada lagi. kayak tiba-tiba, eksistensi dia udah gak berpengaruh sama aku.

yang menyebalkan...
ketika akhirnya mereka juga nyerah. tiba-tiba aku ngerasa 'ditinggal'.

iya, aku tahu.
padahal duluan aku kan yang pergi?
kenapa aku yang merasa ditinggalkan?
ya kan?

that's the thing. aku merasa, aku self-destructive.

kadang, aku pengen banget ke psikolog. pengen ngerti aja, kenapa aku begini. kenapa aku gak bisa komitmen in a relationship. kenapa aku ngerasa aku menyakiti diriku sendiri. kenapa, kenapa, dan kenapa. cuma endingnya aku selalu mikir, emang separah itu kah aku sampai pengen banget ke psikolog? bukan karena takut dicap 'gila'. aku cuma ngerasa, hal yang aku hadapi itu cuma remah-remah diantara orang-orang yang beneran punya mental health. aku jadi berasa self-diagnose gini ya? sok tau kamu lin, lin.

nyadar itu, butuh waktu ya?
butuh keberanian buat akhirnya 'nerima'.

sedihnya, sampai saat ini tuh masih terjadi.
dan idk what to do...