Bukan tugu,
bukan candi, bukan juga tentang keraton. Kali ini, menyusuri Kampung Peneleh
merupakan tujuan saya untuk mengulik sejarah di Surabaya. Berlokasi di kawasan
cagar budaya Rumah HOS Tjokroaminoto, kampung yang padat penduduk ini memiliki
beberapa destinasi yang dapat didatangi secara gratis.
Kampung
Peneleh sendiri ini dipercayai oleh penduduk sekitar sebagai salah satu daerah
dari Keraton Surabaya. Tugu Pahlawan—yang cukup dekat dari kawasan ini, merupakan
balai kota dari Keraton Surabaya. Lokasi dari Kampung Peneleh ini pun berada di
sisi jalan pos yang dahulu dibangun oleh Daendels. Nama yang digunakan diambil
dari nama salah satu Masjid yang didirikan di pemukiman ini, yaitu Masjid
Peneleh. Masjid yang menjadi salah satu destinasi saya kali ini, menurut
penduduk sekitar merupakan masjid tertua kedua di Surabaya setelah sebuah
masjid yang berada di Kembang Kuning, Surabaya.
Arsitektur dari
masjid ini awalnya terinspirasi dari arsitektur Eropa. Namun, karena kurang
cocok dengan lingkungan Surabaya dan “budaya” bentuk masjid yang biasa memiliki
banyak bukaan, akhirnya pembangunan dari masjid ini menghasilkan akulturasi
budaya. Terlihat dari jendela-jendela yang terlihat dari luar bangunan.
Lengkungan-lengkungan yang identik dengan arsitektur Eropa bercampur dengan
desain daerah, yaitu jenis dari jendela yang dipakai, yang merupakan khas
Indonesia. Tidak lupa kaligrafi-kaligrafi Arab yang menghiasi bagian kaca atas
dari jendela. Menghasilkan perpaduan dari beberapa kebudayaan yang menjadi satu
dalam bangunan Masjid Peneleh ini.
Masjid yang
terletak di tengah-tengah perkampungan ini kini masih dikelola baik oleh warga
sekitar. Memang, banyak dari destinasi di Kampung Peneleh dipegang oleh
penduduk sekitar, agar tidak serta-merta lepas begitu saja dari penduduk asli
yang lebih mengetahui perkampungan ini. Dan tentu saja, bangunan masjid ini
dijaga dengan apik oleh sekitar
sehingga masih berdiri dan dapat digunakan oleh warga.
Menariknya,
menjelajahi perkampungan padat penduduk ini, kita akan disuguhi banyak nisan
yang diletakkan secara acak. Masyarakat yang berada di Kampung Peneleh ini
seolah “mengkeramatkan” makam-makam sehingga walaupun hidup dan membangun rumah
di daerah sana, mereka tidak menggusur satupun makam meski terkadang sudah
tidak bernama maupun bukanlah milik keluarga dari yang tinggal di sana.
Salah satu
contoh makam yang berada di Kampung Peneleh ini adalah makam bibi yang
dipercayai merupakan bibi dari Sunan Ampel, yaitu Nyai Rokaya Cempo. Berada di
tengah-tengah perkampungan, makam ini awalnya ditemukan oleh seseorang dari
Ampel yang bermimpi tentang keberadaan makam ini. Makam yang kini dikelola oleh
penduduk sekitar ini mencerminkan percampuran budaya. Meski Sunan Ampel dan
keluarganya adalah seorang Muslim, namun di nisan makam yang bertuliskan tahun
1370 ini ada padma dengan simbol moksa, yaitu simbol dalam Hindu yang
berarti pelepasan.
Makam bibi
dari Sunan Ampel ini menunjukkan satu budaya yang dipegang oleh penduduk
sekitar pada zamannya, yaitu budaya “Marapu”, sebuah budaya di mana
masyarakatnya meletakkan makam keluarga di depan rumah. Yap, makam ini berada
tepat di depan rumah seorang warga dan sampai saat ini diurus dengan baik oleh
swadaya masyarakat. Sehingga makam juga masih bagus (sekarang ditutup dengan
kaca) dan masih dapat dikunjungi oleh publik.
Tentu saja
sebagai pusat obyek wisata, tak lupa saya menyambangi Rumah HOS Tjokroaminoto
yang terletak di Jalan Peneleh VII. Rumah yang juga menjadi kos dari beberapa
tokoh sejarah ini merupakan rumah pribadi Raden Hadji Oemar Said Tjokroaminoto
sejak tahun 1907. Kini, rumah bersejarah ini dikelola oleh Dinas Kebudayaan dan
Pariwisata Kota Surabaya. Rumah ini kembali dibuka untuk umum pada 27 November
2017 lalu.
Hadji Oemar
Said Tjokroaminoto—atau yang biasa disebut HOS Tjokroaminoto, merupakan pria
kelahiran Madiun, Agustus 1882. Ia kemudian menjadi guru sekaligus memberikan
tempat tinggal kepada beberapa tokoh Indonesia, sebut saja Soekarno yang
kemudian menjadi nasionalis, Kartosoewirjo yang merupakan penggerak DI/TII,
hingga pentolan PKI yaitu Alimin, Musso, dan juga Semaoen. HOS Tjokroaminoto
sendiri mendirikan Sarekat Islam pada 1912, dan Rumah HOS Tjokroaminoto inilah
yang menjadi kantor pusat organisasi yang sebelumnya bernama Sarekat Dagang Islam
ini.
Dari sekian
banyak furnitur maupun dekorasi yang mengisi rumah ini, hanya narasi dan
foto-foto tokoh yang pernah nge-kos
di rumah inilah yang asli. Beberapa buku pun merupakan koleksi yang dihibahkan
oleh para keturunan dari tokoh-tokoh tersebut untuk mendekorasi rumah ini. Furniturnya
pun sudah bukan asli dari zamannya, meski masih memperlihatkan suasana jadul di dalamnya.
jejak literasi maupun dokumentasi foto |
Di dalam rumah
yang sudah beberapa kali dipugar ini, banyak sekali dokumentasi dari zaman
dahulu. Ada foto-foto para tokoh yang nge-kos
dan juga yang pernah sekadar mampir seperti KH Ahmad Dahlan, Douwes Dekker,
hingga Tan Malaka. Selain itu, ada juga dokumentasi kegiatan-kegiatan
organisasi Sarekat Islam dari pertama kali terbentuk. Dan yang juga menjadi
perhatian adalah dokumentasi dari presiden RI yang pertama, Ir. Soekarno.
Bahkan, tersedia pula replika dari seragam yang beliau gunakan ketika menuntut
ilmu di Hogere Burger School Surabaya.
Meski banyak
yang sudah berubah dan merupakan interpretasi dari cerita turun-temurun, tetapi
kamar kos dari tokoh-tokoh yang pernah tinggal di sini masih tetap seperti
sedia kala, yaitu bertempat di loteng dari rumah ini. Yang berubah hanyalah
mebel-mebel yang digunakan untuk dipamerkan di rumah yang telah beralih fungsi
menjadi museum ini.
tangga menuju kamar kos dari Ir. Soekarno |
Sayangnya,
keberadaan rumah sekaligus museum ini masih belum banyak berdampak bagi warga
sekitar. Tidak seperti destinasi wisata tempat lain yang banyak sekali kegiatan
ekonomi seperti penjualan merchandise
khas sekitar, area Kampung Peneleh maupun lingkungan Rumah HOS Tjokroaminoto
ini sulit sekali untuk menemukannya. Dari cerita penjaga serta guide tour dari museum ini, memang belum
banyak dampak yang dapat diberikan dari museum ini. Selain itu, UKM yang ada
pun tidak linier dengan keberadaan museum ini, sehingga bangunan ini tidak
berfungsi banyak untuk kampung meski banyak sekali pendatang yang mengunjungi
tempat ini.
Last but not least, saya dan teman-teman
yang ikut pula pada kunjungan wisata kali ini berjalan melewati Kampung Peneleh
menuju Pemakaman Belanda Peneleh. Akses menuju pemakaman ini cukup mudah.
Selain itu, untuk masuk ke area pemakaman ini tidak perlu untuk membeli tiket.
Pemakaman
Belanda ini merupakan salah satu pemakaman elit di masanya. Konsep makam ini
terinspirasi dari konsep makam di Eropa yang berbentuk taman/lahan hijau
sehingga tidak terkesan angker. Lebih kepada tempat untuk bernostalgia dengan
orang yang terlebih dahulu meninggal. Sehingga area pemakaman yang luas ini
tidak sesak maupun berdempetan.
Ada sekitar
2000 hingga 3000-an makam yang berada di sini. Tidak hanya orang-orang Belanda,
ada juga makam-makam orang penting Surabaya yang berketurunan Eropa, hingga
fotografer berkebangsaan Armenia. Bahkan, ketika masa penjajahan Jepang,
orang-orang penting Jepang ikut pula dikubur di area ini karena menganggap
bahwa mereka se-“kasta” dengan orang-orang Eropa yang dikubur di area pemakaman
elit ini.
Bila dilihat
di area ini, banyak sekali pemakaman yang didekorasi. Tidak hanya nisan, namun
ada pula yang seperti patung memorial. Menurut penjaga makam, semakin tinggi
dan dekoratif bentuknya, maka orang yang dimakamkan tersebut memiliki kedudukan
yang tinggi.
Sayang sekali,
meski telah dikelola oleh pemerintah kota, sisa-sisa penjarahan pada masa
revolusi di tahun 1942 hingga 1950-an masih dapat terlihat. Biasanya, di bawah
makam terlihat ada lubang bekas penjarahan. Hal in dikarenakan budaya
orang-orang Barat yang ketika dimakamkan, maka beberapa barang kesayangan
maupun barang berharga ikut pula dikuburkan. Hal ini memang merusak estetika
dari kuburan tersebut, terlihat dari beberapa yang sudah hancur tak berbentuk
di sebagian makam.
Selain itu, di
area pemakaman ini terdapat ‘Rumah Tulang’. Bangunan dengan arsitektur khas
Eropa ini merupakan tempat di mana pembuangan tulang-tulang. Di tengah
bangunan, terdapat dua buah lubang tempat tulang-tulang tersebut berakhir.
Meski kini, tak terlihat lagi tulang-tulang di dasarnya. Namun, dengan gaya
arsitekturnya, bangunan ini menambah khas “Eropa” di area pemakaman elit ini.
Perjalanan
saya kali ini berakhir di pemakaman yang meski telah bertahun-tahun ada, namun
dekoratifnya masih dapat dilihat hingga saat ini. Banyak sekali hal yang dapat
dipetik dari perjalanan kali ini, dari Kampung Peneleh maupun Rumah HOS
Tjokroaminoto.
Pertama,
budaya-budaya yang masih erat dipegang oleh penduduk sekitar. Bahwa kampung
yang padat penduduk ini tidak begitu saja “menggusur” makam-makam yang telah
ada terlebih dahulu daripada penduduk sekitar. Bukan unsur mistis yang
diangkat, namun lebih kepada bahwa kita sebagai manusia merupakan pendatang—bukan
hak kita untuk merusak apa yang telah ada.
Selain itu, keinginan
Kampung Peneleh untuk tetap mengelola beberapa destinasi wisata sejarah ini
patut diacungi jempol. Tidak banyak warga asli yang tetap bisa menjaga sejarah
dan obyek wisata itu sendiri tanpa campur tangan pemerintah. Hal ini tentu saja
menumbuhkan semangat untuk terus menjaga warisan sejarah yang Indonesia miliki.
Terakhir,
kesan saya terhadap perkampungan yang pertama kali saya jejak setelah
bertahun-tahun tinggal di Surabaya adalah bahwa budaya dan sejarah memang tidak
begitu saja dapat terhapus. Banyak cerita yang tertinggal, tidak hanya dari
mulut ke mulut, namun juga lewat bangunan hingga pemakaman. Senang merasakan
bahwa masih ada dinding-dinding berdiri tegak dan tetap menceritakan sejarahnya
sendiri.
Contoh saja
area pemakaman Belanda yang meski telah dijarah, namun tetap memberikan sebuah
cerita kepada generasi selanjutnya bahwa ada masa di mana penjarahan makam
merupakan bagian dari sejarah. Atau dari Rumah HOS Tjokroaminoto, yang
bercerita bahwa satu tempat melahirkan banyak tokoh Indonesia yang memiliki
berbeda pendapat serta pandangan politik. Maupun sesederhana rumah-rumah di
Kampung Peneleh yang masih khas bangunan Eropa, seperti kolom-kolomnya yang
masih berdiri menopang di beberapa rumah.
Dari sekian
banyak yang dilewati, mungkin yang kurang hanyalah dampak dari destinasi wisata
itu terhadap masyarakat. Padahal, kalau ingin, destinasi wisata dapat
melahirkan beberapa usaha di sekitarnya. Mulai dari usaha merchandise, hingga usaha di bidang food and beverage (yang sudah ada sebuah warung sih, sebenarnya).
Sekian cerita
perjalanan saya di hari Sabtu pagi. Semoga tidak hanya saya yang mendapat
pelajaran dari perjalanan kali ini, namun kamu juga sebagai pembaca tak kalah
tertariknya pada sejarah Indonesia sehingga tergerak untuk sesederhana datang
dan belajar tentang sejarah! J
Cheers,
penulis (duduk), serta rekan seperjalanan. |
bagus, teruskan menulis!
BalasHapus