30 September 2018

Mengulik Sejarah Surabaya di Kampung Peneleh


Bukan tugu, bukan candi, bukan juga tentang keraton. Kali ini, menyusuri Kampung Peneleh merupakan tujuan saya untuk mengulik sejarah di Surabaya. Berlokasi di kawasan cagar budaya Rumah HOS Tjokroaminoto, kampung yang padat penduduk ini memiliki beberapa destinasi yang dapat didatangi secara gratis.

Kampung Peneleh sendiri ini dipercayai oleh penduduk sekitar sebagai salah satu daerah dari Keraton Surabaya. Tugu Pahlawan—yang cukup dekat dari kawasan ini, merupakan balai kota dari Keraton Surabaya. Lokasi dari Kampung Peneleh ini pun berada di sisi jalan pos yang dahulu dibangun oleh Daendels. Nama yang digunakan diambil dari nama salah satu Masjid yang didirikan di pemukiman ini, yaitu Masjid Peneleh. Masjid yang menjadi salah satu destinasi saya kali ini, menurut penduduk sekitar merupakan masjid tertua kedua di Surabaya setelah sebuah masjid yang berada di Kembang Kuning, Surabaya.


Arsitektur dari masjid ini awalnya terinspirasi dari arsitektur Eropa. Namun, karena kurang cocok dengan lingkungan Surabaya dan “budaya” bentuk masjid yang biasa memiliki banyak bukaan, akhirnya pembangunan dari masjid ini menghasilkan akulturasi budaya. Terlihat dari jendela-jendela yang terlihat dari luar bangunan. Lengkungan-lengkungan yang identik dengan arsitektur Eropa bercampur dengan desain daerah, yaitu jenis dari jendela yang dipakai, yang merupakan khas Indonesia. Tidak lupa kaligrafi-kaligrafi Arab yang menghiasi bagian kaca atas dari jendela. Menghasilkan perpaduan dari beberapa kebudayaan yang menjadi satu dalam bangunan Masjid Peneleh ini.
Masjid yang terletak di tengah-tengah perkampungan ini kini masih dikelola baik oleh warga sekitar. Memang, banyak dari destinasi di Kampung Peneleh dipegang oleh penduduk sekitar, agar tidak serta-merta lepas begitu saja dari penduduk asli yang lebih mengetahui perkampungan ini. Dan tentu saja, bangunan masjid ini dijaga dengan apik oleh sekitar sehingga masih berdiri dan dapat digunakan oleh warga.

Menariknya, menjelajahi perkampungan padat penduduk ini, kita akan disuguhi banyak nisan yang diletakkan secara acak. Masyarakat yang berada di Kampung Peneleh ini seolah “mengkeramatkan” makam-makam sehingga walaupun hidup dan membangun rumah di daerah sana, mereka tidak menggusur satupun makam meski terkadang sudah tidak bernama maupun bukanlah milik keluarga dari yang tinggal di sana.
Salah satu contoh makam yang berada di Kampung Peneleh ini adalah makam bibi yang dipercayai merupakan bibi dari Sunan Ampel, yaitu Nyai Rokaya Cempo. Berada di tengah-tengah perkampungan, makam ini awalnya ditemukan oleh seseorang dari Ampel yang bermimpi tentang keberadaan makam ini. Makam yang kini dikelola oleh penduduk sekitar ini mencerminkan percampuran budaya. Meski Sunan Ampel dan keluarganya adalah seorang Muslim, namun di nisan makam yang bertuliskan tahun 1370 ini ada padma dengan simbol moksa, yaitu simbol dalam Hindu yang berarti pelepasan.
Makam bibi dari Sunan Ampel ini menunjukkan satu budaya yang dipegang oleh penduduk sekitar pada zamannya, yaitu budaya “Marapu”, sebuah budaya di mana masyarakatnya meletakkan makam keluarga di depan rumah. Yap, makam ini berada tepat di depan rumah seorang warga dan sampai saat ini diurus dengan baik oleh swadaya masyarakat. Sehingga makam juga masih bagus (sekarang ditutup dengan kaca) dan masih dapat dikunjungi oleh publik.

Tentu saja sebagai pusat obyek wisata, tak lupa saya menyambangi Rumah HOS Tjokroaminoto yang terletak di Jalan Peneleh VII. Rumah yang juga menjadi kos dari beberapa tokoh sejarah ini merupakan rumah pribadi Raden Hadji Oemar Said Tjokroaminoto sejak tahun 1907. Kini, rumah bersejarah ini dikelola oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Surabaya. Rumah ini kembali dibuka untuk umum pada 27 November 2017 lalu.
Hadji Oemar Said Tjokroaminoto—atau yang biasa disebut HOS Tjokroaminoto, merupakan pria kelahiran Madiun, Agustus 1882. Ia kemudian menjadi guru sekaligus memberikan tempat tinggal kepada beberapa tokoh Indonesia, sebut saja Soekarno yang kemudian menjadi nasionalis, Kartosoewirjo yang merupakan penggerak DI/TII, hingga pentolan PKI yaitu Alimin, Musso, dan juga Semaoen. HOS Tjokroaminoto sendiri mendirikan Sarekat Islam pada 1912, dan Rumah HOS Tjokroaminoto inilah yang menjadi kantor pusat organisasi yang sebelumnya bernama Sarekat Dagang Islam ini.
Dari sekian banyak furnitur maupun dekorasi yang mengisi rumah ini, hanya narasi dan foto-foto tokoh yang pernah nge-kos di rumah inilah yang asli. Beberapa buku pun merupakan koleksi yang dihibahkan oleh para keturunan dari tokoh-tokoh tersebut untuk mendekorasi rumah ini. Furniturnya pun sudah bukan asli dari zamannya, meski masih memperlihatkan suasana jadul di dalamnya.


jejak literasi maupun dokumentasi foto

Di dalam rumah yang sudah beberapa kali dipugar ini, banyak sekali dokumentasi dari zaman dahulu. Ada foto-foto para tokoh yang nge-kos dan juga yang pernah sekadar mampir seperti KH Ahmad Dahlan, Douwes Dekker, hingga Tan Malaka. Selain itu, ada juga dokumentasi kegiatan-kegiatan organisasi Sarekat Islam dari pertama kali terbentuk. Dan yang juga menjadi perhatian adalah dokumentasi dari presiden RI yang pertama, Ir. Soekarno. Bahkan, tersedia pula replika dari seragam yang beliau gunakan ketika menuntut ilmu di Hogere Burger School Surabaya.
Meski banyak yang sudah berubah dan merupakan interpretasi dari cerita turun-temurun, tetapi kamar kos dari tokoh-tokoh yang pernah tinggal di sini masih tetap seperti sedia kala, yaitu bertempat di loteng dari rumah ini. Yang berubah hanyalah mebel-mebel yang digunakan untuk dipamerkan di rumah yang telah beralih fungsi menjadi museum ini.

tangga menuju kamar kos dari Ir. Soekarno

Sayangnya, keberadaan rumah sekaligus museum ini masih belum banyak berdampak bagi warga sekitar. Tidak seperti destinasi wisata tempat lain yang banyak sekali kegiatan ekonomi seperti penjualan merchandise khas sekitar, area Kampung Peneleh maupun lingkungan Rumah HOS Tjokroaminoto ini sulit sekali untuk menemukannya. Dari cerita penjaga serta guide tour dari museum ini, memang belum banyak dampak yang dapat diberikan dari museum ini. Selain itu, UKM yang ada pun tidak linier dengan keberadaan museum ini, sehingga bangunan ini tidak berfungsi banyak untuk kampung meski banyak sekali pendatang yang mengunjungi tempat ini.

Last but not least, saya dan teman-teman yang ikut pula pada kunjungan wisata kali ini berjalan melewati Kampung Peneleh menuju Pemakaman Belanda Peneleh. Akses menuju pemakaman ini cukup mudah. Selain itu, untuk masuk ke area pemakaman ini tidak perlu untuk membeli tiket.


Pemakaman Belanda ini merupakan salah satu pemakaman elit di masanya. Konsep makam ini terinspirasi dari konsep makam di Eropa yang berbentuk taman/lahan hijau sehingga tidak terkesan angker. Lebih kepada tempat untuk bernostalgia dengan orang yang terlebih dahulu meninggal. Sehingga area pemakaman yang luas ini tidak sesak maupun berdempetan.
Ada sekitar 2000 hingga 3000-an makam yang berada di sini. Tidak hanya orang-orang Belanda, ada juga makam-makam orang penting Surabaya yang berketurunan Eropa, hingga fotografer berkebangsaan Armenia. Bahkan, ketika masa penjajahan Jepang, orang-orang penting Jepang ikut pula dikubur di area ini karena menganggap bahwa mereka se-“kasta” dengan orang-orang Eropa yang dikubur di area pemakaman elit ini.



Bila dilihat di area ini, banyak sekali pemakaman yang didekorasi. Tidak hanya nisan, namun ada pula yang seperti patung memorial. Menurut penjaga makam, semakin tinggi dan dekoratif bentuknya, maka orang yang dimakamkan tersebut memiliki kedudukan yang tinggi.
Sayang sekali, meski telah dikelola oleh pemerintah kota, sisa-sisa penjarahan pada masa revolusi di tahun 1942 hingga 1950-an masih dapat terlihat. Biasanya, di bawah makam terlihat ada lubang bekas penjarahan. Hal in dikarenakan budaya orang-orang Barat yang ketika dimakamkan, maka beberapa barang kesayangan maupun barang berharga ikut pula dikuburkan. Hal ini memang merusak estetika dari kuburan tersebut, terlihat dari beberapa yang sudah hancur tak berbentuk di sebagian makam.
Selain itu, di area pemakaman ini terdapat ‘Rumah Tulang’. Bangunan dengan arsitektur khas Eropa ini merupakan tempat di mana pembuangan tulang-tulang. Di tengah bangunan, terdapat dua buah lubang tempat tulang-tulang tersebut berakhir. Meski kini, tak terlihat lagi tulang-tulang di dasarnya. Namun, dengan gaya arsitekturnya, bangunan ini menambah khas “Eropa” di area pemakaman elit ini.

Perjalanan saya kali ini berakhir di pemakaman yang meski telah bertahun-tahun ada, namun dekoratifnya masih dapat dilihat hingga saat ini. Banyak sekali hal yang dapat dipetik dari perjalanan kali ini, dari Kampung Peneleh maupun Rumah HOS Tjokroaminoto.
Pertama, budaya-budaya yang masih erat dipegang oleh penduduk sekitar. Bahwa kampung yang padat penduduk ini tidak begitu saja “menggusur” makam-makam yang telah ada terlebih dahulu daripada penduduk sekitar. Bukan unsur mistis yang diangkat, namun lebih kepada bahwa kita sebagai manusia merupakan pendatang—bukan hak kita untuk merusak apa yang telah ada.
Selain itu, keinginan Kampung Peneleh untuk tetap mengelola beberapa destinasi wisata sejarah ini patut diacungi jempol. Tidak banyak warga asli yang tetap bisa menjaga sejarah dan obyek wisata itu sendiri tanpa campur tangan pemerintah. Hal ini tentu saja menumbuhkan semangat untuk terus menjaga warisan sejarah yang Indonesia miliki.
Terakhir, kesan saya terhadap perkampungan yang pertama kali saya jejak setelah bertahun-tahun tinggal di Surabaya adalah bahwa budaya dan sejarah memang tidak begitu saja dapat terhapus. Banyak cerita yang tertinggal, tidak hanya dari mulut ke mulut, namun juga lewat bangunan hingga pemakaman. Senang merasakan bahwa masih ada dinding-dinding berdiri tegak dan tetap menceritakan sejarahnya sendiri.
Contoh saja area pemakaman Belanda yang meski telah dijarah, namun tetap memberikan sebuah cerita kepada generasi selanjutnya bahwa ada masa di mana penjarahan makam merupakan bagian dari sejarah. Atau dari Rumah HOS Tjokroaminoto, yang bercerita bahwa satu tempat melahirkan banyak tokoh Indonesia yang memiliki berbeda pendapat serta pandangan politik. Maupun sesederhana rumah-rumah di Kampung Peneleh yang masih khas bangunan Eropa, seperti kolom-kolomnya yang masih berdiri menopang di beberapa rumah.
Dari sekian banyak yang dilewati, mungkin yang kurang hanyalah dampak dari destinasi wisata itu terhadap masyarakat. Padahal, kalau ingin, destinasi wisata dapat melahirkan beberapa usaha di sekitarnya. Mulai dari usaha merchandise, hingga usaha di bidang food and beverage (yang sudah ada sebuah warung sih, sebenarnya).
Sekian cerita perjalanan saya di hari Sabtu pagi. Semoga tidak hanya saya yang mendapat pelajaran dari perjalanan kali ini, namun kamu juga sebagai pembaca tak kalah tertariknya pada sejarah Indonesia sehingga tergerak untuk sesederhana datang dan belajar tentang sejarah! J


Cheers,

penulis (duduk), serta rekan seperjalanan.

1 komentar: