6 Agustus 2016

Setelah kamu pergi.

Suara sendu melagu menemaniku menyusuri jalanan yang tak lagi terang. Pepohonan di kanan kiri tak lagi semenakutkan dahulu ketika aku berjalan berbeda arah dengan sekarang. Remang-remang cahaya menelisik dari celah, mengintip seorang gadis yang ingin kembali pulang. Menemaninya mengumpulkan jejak kenangan dalam benaknya. 

Kaset yang berputar dalam radio mengusikku, karena telah lama ia tergeletak sia-sia di dasbor mobil ini. Telah usang, namun lagunya tak sekalipun tersendat. Suara-suara manusia yang menggema dalam benakku memutar balik ketika hari di mana aku meninggalkan tempat yang kutuju. 

Dan saat itu, masih ada kamu di kemudi yang kini kukendarai sendiri. 

Entah sudah berapa tahun kulewati tanpa ada lagi kamu, yang ternyata begitu banyak meninggalkan jejak pada hidupku. Coba saja dengarkan kembali kaset tersebut, lagu-lagunya kamu yang pilihkan. Atau kepada mobil usang yang kukendarai saat ini. Kamu bilang, ini adalah kendaraan favoritmu. Walau tak sampai hati aku mengendarainya, toh tetap kujaga dalam garasi yang berdebu. 

Ada beberapa hal tentang kamu yang masih terpatri. Namun, beberapa bulan ini toh mulai kusisihkan. Harusnya, aku sudah memulai hidup baru kala kamu pergi. Harusnya aku tetap bahagia ketika aku mengusir rasa yang kuanggap semu. 

Namun ternyata, semua menjadi nyata kala kamu mendatangiku sebagai hantu di masa lalu. Kamu menawarkan banyak memori yang kutinggalkan pada kota di mana kita hanya menjadi kenangan. Mencoba menarikku pada kesenduan yang ingin kutinggalkan karena aku tahu, hidup tetap akan berjalan apa adanya, dengan atau tanpa dirimu. 

Tapi ini sudah tepat dua tahun kamu terkubur dalam ketiadaan. Meninggalkan rasa berkabung pada semua hal yang kau tinggalkan secara tiba-tiba. Karena bagi mereka yang selalu menunggu kamu pulang, kamu selalu berarti tak peduli berapa ratus kilometer kamu tempuh demi menggapai mimpimu. 

Tak lagi ada gurau menggoda kala aku merasa sepi. Tak lagi ada kamu ketika aku merasa sedih. 

Sekiranya kamu pergi, tolong beri aku ruang untuk menata hidup kembali. Mungkin kamu tak terlupa, tapi kali ini aku sudah lelah meratapimu. Mungkin hari-hari yang berlalu aku sudah terpuruk kala kamu tak lagi membuka mata indahmu. Mungkin hari-hari tersebut aku akan selalu tenggelam dalam kantuk usai menangisi barang-barang yang kau tinggalkan. 

Setidaknya aku pernah mencintaimu, dulu. Ketika label sahabat tak lagi cukup untuk kita yang selalu mencoba mendobrak rasa yang kita semikan dalam hati. Setidaknya, rasa itu sempat terasa nyata kala kamu mencium bibirku dalam keputusasaan. 

Sebelum matahari terbenam pada kearoganan, sebelum segalanya sekelam malam dalam hutan menuju kota tempat kita dibesarkan. 

Dan ketika mobil usang ini menampakkan diri pada kota yang tak pernah tertidur, gemerlap gedung menyesaki hatiku yang kini penuh dengan bayanganmu. Di sudut kota ini tak luput dari senyummu. Ketika kita masih polos dan cinta bukanlah suatu hal yang menakutkan. Ketika kita tak perlu mengejar impian yang membunuh perlahan. 

Bukan kamu lagi ketika aku menginjakkan kaki pada kota yang masih sunyi. Bukan kamu lagi ketika aku merenung di kesepianku. Kamu telah pergi, jauh dan tak tergapai. Karena pada kenyataannya, hidup memang tak pernah seadil itu padaku. Aku tak ingin banyak, namun untuk kehilanganmu, bukan salah satu yang kuinginkan.

Kutunggu mentari menyinari Bumi dari penghujung timur untuk membawa kehangatan yang telah lama hilang. Kutunggu waktu yang tepat untuk mengunjungimu dengan satu keranjang bunga biru. Sebiru hatiku yang selalu berkabung mengingatmu.

Kini, aku terduduk membersihkan makam tempat kamu disemayamkan. Tempat perpisahan dua orang yang belum pernah membagi cinta untuk dirasakan. Dua orang yang selalu dijebak oleh persahabatan agar segalanya tetap dalam zona nyaman. Dua orang yang dengan putus asanya melangkah berjauhan.

Bukan salahmu ketika kamu berada dalam kecelakaan itu. Tidak pula ketika kamu mengejarku untuk meminta maaf. Hanya aku, dengan kearogananku, yang harusnya dipersalahkan. Karena kalau kita sedari dulu jujur dan aku membuang egoku, hari ini kita mungkin masih berbahagia. Mungkin kamu yang akan menunggu di altar esok. Mungkin kita akan pergi ke tempat-tempat tersembunyi seperti apa yang kita tulis untuk menjadi honeymoon wishlist.

Setelah ini, kuharap kamu tidak lagi menghantuiku. Setelah ini, kuharap aku juga tidak lagi terpuruk. Aku ingin berbahagia, seperti dahulu ketika kamu masih hidup dalam sanubari. Aku ingin seperti dahulu ketika canda tawa masih menyelimuti kita, menghangatkan hari dalam senyum semanis mentari.

Setelah ini, kuharap kamu tenang dimana pun kamu berada.
Dan walau aku kini bersama dia, tak lupa kukirimkan doa padamu.
Agar kamu selalu dalam lindungan malaikat yang menemanimu di alam sana.