9 November 2019

// pilu membiru //

malang-melintang gelap masih menyelimuti. sekiranya malam, sudah berganti hari. walau kelam masih enggan dijamah mentari. aku masih terjaga, manakala dendangan yang merasuk ke dalam tulang-belulang. liriknya sederhana, namun terngiang memecah sunyi.

masih banyak yang belum sempat
aku katakan padamu

maaf, batinku.
beribu kali ia terulang dalam benak. sudah sejak lama terpendam kukubur paksa segala yang berhubungan dengannya. berulang kali niat kukumpulkan demi mengirim satu pesan yang selalu aku tasbihkan kala namanya terlintas, namun selalu gagal di tengah kewarasan yang berperang.

sesederhana satu kata, yang dipaksa bungkam karena waktu terus menggerus. namun malam... ah pagi. ya, pagi ini. lewat sudah sepertiga malam, dan namanya terus terngiang. tidak perlu kauucap, gemanya bahkan tidak pernah berhenti terpantul.

maaf, sekali lagi.
bilamana dia terluka saat aku juga berdarah. maaf. karena aku tidak dapat memberikan cinta yang sama besarnya kala itu. bersamanya, segalanya benar di waktu yang salah. menyebalkan, bukan? badai selalu berlalu, namun porak-poranda tersisa di ruang berbatas ini. dia selalu menggapai tanganku, yang sama-sama telah terluka.

aku masih ingat kala ia tersenyum di seberang. cantik. secerah pertama kali aku jatuh cinta padanya. namun kini, genggamnya sudah dimiliki orang lain. jari lentiknya sudah dipinang cincin bukan bertahta namaku. surainya yang gelap berkilau, tidak lagi mampu kucium mesra dalam kelamnya cinta yang membunuh.

dan satu dendangan itu kembali merasuk.
masih banyak yang belum sempat
aku sampaikan padamu

termasuk bahwa hatiku tidak pernah benar-benar sembuh. dan bahwa hatiku tidak mampu mengukir nama lain selain dirinya. walau dahulu, sepertinya aku menyia-nyiakan dirinya kala aku pun tidak mampu menyembuhkan diriku sendiri. dia ikut terombang-ambing antara cinta dan luka yang selalu kupersembahkan.

kini, segalanya telah berubah. bukan aku lagi yang ia beri senyum. bukan aku lagi tempat ia berbagi sukanya kala mentari berbahagia bersamanya. bukan aku lagi, bukan aku lagi. tidak akan pernah ada aku lagi di hidupnya.

namun, Tuhan—bila aku masih boleh menyebut nama-Mu, usai tahunan tidak lagi mencumbu rindu bersamanya, hatiku masih berdetak sama kerasnya saat pertama kali aku berikrar akan selamanya jatuh cinta padanya.

akhirnya aku lihat lagi
akhirnya aku temui
oh
tercekat lidahku

tak tergantikan 
walau kita tak lagi saling
menyapa


—awankelabu, jam tiga pagi kala namamu masih tidak beranjak dari hidupku.





[selamat mendengarkan pilu membiru oleh Kunto Aji
dan merangkai kata yang ingin kau sampaikan kepada
dia yang selalu kauharap telah kauberi segala kalimat
sebelum mereka hilang]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar