Kutatapi lalu-lalang kota dimana
aku dibesarkan. Riuh suara tentang keluh terik mentari, pun macet yang mulai
merambat. Tidak seperti sang Ibu Kota, Surabaya masih memiliki longgar. Mobil
ini berhenti oleh lampu yang berubah warna merah, di satu titik yang dulu punya
cerita.
Jalanan ini salah satu saksi kala
malam menggelayut, dan ada aku serta kamu dalam satu atap. Laju jalanan sudah
mulai lengang, namun sesekali masih ada yang bertahan untuk pulang. Ada
keheningan yang cukup dingin, namun hangat hadir hanya dengan adanya kamu.
Sudah lelah kita berjuang, cinta saja memang tidak pernah cukup.
Atau gedung besar di salah satu
jalan besar di Surabaya. Tempat kita memadu kasih layaknya remaja bodoh yang
jatuh cinta. Ada kotak untuk memotret momen, atau ruang dingin menatap layar
dengan lenganmu memelukku, atau sekadar restoran cepat saji kala kau berkata
sudah tak lagi punya uang untuk makan di restoran favorit.
Mobil yang kini kutumpangi
perlahan maju membelah kota. Membuat nostalgiaku terus melaju tak mampu
kutahan. Ada pojok kafe tempat pertama kali kamu menyatakan cinta. Yang kini
kulewati begitu saja—walau kenangannya tak segera hilang selaju dengan cepatnya
mobil ini. Kala rona merah mampu menghangatkan suasana, cinta kala muda yang
kemudian enggan terlupa.
Dan sebelum sampai di tujuan,
untuk pertama kali usai bertahun-tahun, aku akhirnya melihat satu tempat dimana
aku pertama menjatuhkan pandang padamu. Dahulu, kamu bilang yang jatuh cinta
terlebih dahulu di tempat lain—bulanan usai momen dimana aku melihatmu pertama
kali. Hari itu, aku masih ingat. Kacamata berbingkai hitam, sweater abu-abu,
dan celana jins biru—tidak terlupa. Untuk pertama kalinya, aku jatuh cinta di
pandangan pertama. Untuk pertama kalinya, hatiku yang telah berkeping-keping
kembali utuh.
Namun tahunan usai kita bersama,
ternyata kita tak pernah bisa satu. Meski aku mengalah demi cinta sekalipun,
yang kau mau tak pernah mampu kulakukan. Ego dan luka, serta asa yang lama
habis dikuras waktu. Cinta tidak pernah cukup. Cinta saja, tidak membuatmu
tidak berpaling dengan mudahnya.
Dan seluruh kota ini memiliki
ceritanya. Lima tahun bersama, meninggalkan jejak cerita di sudut-sudutnya. Bersama
kotak berisi potret kala masih ada canda dan tawa, aku sampai di tujuanku.
Stasiun kereta yang padat lalu-lalang manusia, adalah tempatku untuk
memantapkan hati. Yang usai, sudah selesai. Namun untuk tetap tinggal, hatiku
tak lagi sanggup.
Bersama kereta yang menuju barat,
kuucapkan selamat tinggal. Kepada kamu, kepada kota yang kutinggalkan. Mungkin
separuh hidupku ada di sini, bersama cinta dan ambisi yang akhirnya kukubur
dalam-dalam. Namun kini, aku mengalah. Dan kepada Ibu Kota, kutitipkan sedikit
harap. Tentang hari baru, dan hati yang baru.
Jakarta, aku pulang, bersama
segenap mimpiku yang tersisa.
—awankelabu, selamat tinggal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar