"Apakah dia memang se-tertarik itu padanya?" tanya lelaki itu. Lelaki di hadapannya hanya mengangguk, tak terlalu antusias dengan percakapan yang baginya tak penting ini.
"Apa tipe-tipe playboy gitu? Badboy?" Reza memutar bola matanya bosan.
"Enggak, Vin. Tipe berjas, baik hati, kaya, punya sopan santun, dan lain sebagainya. Jangan kebanyakan baca fiksi deh. Udah deh lo nanyain dia mulu."
"Yang suka baca fiksi itu dia." Kevin memutar bola matanya jengah. "Emang salah ya gue tanya tentang dia ke elo? Kan lo satu kerja sama dia."
Reza menghela nafas lelah. Kemudian ia menatap teman baiknya tersebut. "Tapi yang sahabatnya Ella itu elo, bukan gue. Bukannya keberatan, tapi elo sikapnya udah kayak pacar protektif."
"Bukan protektif tapi gue—"
"Kalo bukan protektif terus apa? Kayaknya walaupun sahabatan, gue sama sahabat gue biasa aja. Gak sampe yang kayak dia mau pacaran, lo jadi kayak stalker gini." Reza menghela nafas. "Lo gak perlu sampe segitunya. Dia punya hidup, dia yang memilih mau hidupnya gimana. Kalo dia salah, lo tinggal siapin bahu lo."
Kevin mengedikkan bahu, tatapannya menjadi sayu. "Masalahnya, dia sahabat gue, man. Yang udah jadi temen gue selama lebih dari dua-puluh tahun."
Reza hanya menaikkan alis mendengarnya, membiarkan Kevin meneruskan. "Karena dia sahabat gue, gue tau kalau dia ketika jatuh cinta, she's falling so hard. I'm just afraid she's gonna be hurt by everyone that she loves, and killing her so bad. Karena gue juga selama dua-puluh jadi sahabatnya, gue pernah ngerasain saat dimana dia patah hati yang bener-bener hampir membunuh hidupnya sendiri. Sebagai sahabat, setelah lo melihat hidupnya kayak gitu, lo gak bakalan tega kan ketika dia jatuh cinta kemudian terluka kembali?"
Reza tertegun.
20.54
a conversation on my mind