20 Januari 2024

Ketika Berhenti Di Sini

Tidak akan ada rumusan yang tepat dalam merayakan duka. Ia datang tanpa permisi, mewarnai hati dengan semua nuansa abu. Abu muda untuk langit yang mendung, menaungi hari ketika ia pergi. Abu tua, untuk segala rasa yang ditinggalkan. Semua berlomba memenangi caranya mewakili hari itu, hari kala aku kehilangan arah dalam hidup. 

Melaju, kata semua manusia yang tidak pernah berkenalan dengan perpisahan. Mungkin bagi mereka, rasa ini bisa ditekan begitu saja dan melewati hari seperti seharusnya. Kembali bangun, mandi, dan menjalani hidup. Tapi apakah mereka tahu, aku terbangun seusai kamu hadir dalam mimpi? Membuka mata rasanya seperti kembali menghadapi kenyataan bahwa tidak ada lagi hadirmu. 

Mentari seolah menjadi hakim yang menentukan saatnya untuk menghapus siluetmu dalam gelap malam. Biasanya, hadirmu menjadi hantu di pojok yang tak lagi dijangkau. Memangnya, bagaimana bisa kita mencapai yang tak lagi ada di dunia ini? Bagaimana caranya menjadi ikhlas dan kembali hidup seperti apa adanya? Seperti sebelum adanya kamu?

Tidak pernah ada jawaban yang pasti untuk mengatasi rasa menusuk kala mengingat mereka yang mengucapkan selamat tinggal tanpa pernah sampai. Hati-hati mereka pergi, sunyi, tak berjejak. Tiba-tiba tak lagi bisa digapai. Meninggalkan apa-apa yang menurut mereka usai. Sama seperti ketika kamu yang memutuskan saatnya untuk berpisah. Tanpa aba-aba, tanah basah memelukmu. Rintik hujan menjadi suara latar kala semesta menerimamu. Mereka bersorai, kembalinya hamba pada pelukan Ibu Pertiwi. Namun bagaimana dengan aku?

Takkan ada yang akan pernah tahu kapan pada akhirnya kita selesai dengan duka. Apabila saatnya sudah tepat, aku akan membingkaimu dengan kerangka potret yang paling apik. Di dinding memori ini, aku mungkin akan melupakan rasa sakitnya. Namun selamanya, kenangan itu akan selalu ada. Kali itu, mungkin tanpa lagi ada air mata. 


// bersorai untuk tak lagi berhenti di sini. 
20.01.24; 10.11pm

Tidak ada komentar:

Posting Komentar