29 Mei 2024

#YangKitaLakukanDiKos

Ibu
Ruang persegi ini membelenggu semua definisi depresi yang sepertinya puan itu rasakan. Dia datang di kota besar ini dengan compang-camping, hatinya remuk-redam oleh harapan dan kekalahan. Harapan untuk tempat melarikan diri, kekalahan akan menyerahnya dia oleh suara-suara yang memenjaranya. Di kota gemerlap ini, dia bersimpuh, berharap ada yang mengobati goresan-goresan tak kasat mata pada tinta yang ia lukis di pergelangan tangannya. Ada simbol-simbol bertahan hidup yang ia tanamkan pada lengannya, berharap ada sedikit cahaya yang membawanya bangkit. 

Ibu.
Ruang kotak penuh dengan lembar-lembar menyedihkan yang menjadi saksi, bahwa dia ingin hidup namun merasakannya begitu sulit. Entah lubang apa yang ia rasakan, tapi untuk bernapas saja, dia butuh tarikan terpanjang agar terasa. Ia tidak ingin lari dengan minuman-minuman penghilang lara, yang ia inginkan hanya pelukan pada pundak ringkihnya. Entah sudah berapa lama ia merindu, sejenak mereda dari segala kekalutan kepala kecilnya

Ibu
Di dalam rumah yang tuannya bukan dia, ia masih berperang melawan dirinya. Dengan segala masa lalu yang menjadi jangkar penahan segala luka, pun bersama masa depan yang sepertinya penuh dengan ketidakpastian. Piala-piala terpajang, namun lukanya sama banyak. Persetan dengan menjadi terbaik, hidupnya penuh dengan ekspektasi menumpuk yang kini membuatnya tidak mengenal siapa sebenarnya dia. Muka mana yang ia punya, karena sudah ditumpuk topeng-topeng senyum yang ia buat. Aku yang mana? Mana yang harus kukenalkan pada dunia? Dunia mana yang berbaik hati menerimaku? Aku yang mana yang kau sukai? Sukakah kamu pada dunia penuh abu yang kubangun? Terbangun dengan muka mendung, gairah dibawa mimpi semalam. Malam-malam di mana dia berharap tak selamat, meski hati kecilnya berdoa esok hari masih menyapa mentari. Matahari yang kemudian tertawa mengejek, ada satu manusia yang tetap bertahan. Tahan banting dengan hati yang tak tahu siapa yang menjaganya

Ibu...
Kalau saya menyerah sekarang, apakah aku masih anak terbaikmu? Apakah nisanku kau rimbunkan dengan pepohonan atau terserang lumut hingga tak bernama? Apakah tempatku bersemayan ramai oleh doa, atau sepi yang membuatku termenung menunggu disapa? Apakah persegi yang menyempit ini lebih baik daripada kosan di pinggiran Jakarta yang menjadi saksi aku terus-terusan ingin menyerah dari sedihku?

Ibu
Aku mau pulang. Tapi sepertinya, jalannya sudah tak kuhafal. 


// catatan dalam kos, tempat bernaung bersama sunyi. 
29.05.24; 11.54pm

Tidak ada komentar:

Posting Komentar