4 Juni 2024

Jakarta, Aku Urung Pulang.

Romantisme Kota Jakarta sepertinya sudah mendarah daging. Kota penuh harapan, mereka bilang. Entah sudah berapa juta asa digantung, separuhnya pulang dengan peluh. Rasa-rasanya, gemerlap hanya mimpi. Memesona, namun sekejap. Siang menuju malam, pun sebaliknya. Apakah kamu selamat dari gempuran kepadatan angan dan ambisi yang dipupuk di setiap gerbong penuh dengan muka-muka tanpa rehat?

Melangkah dengan tak pasti, memasuki satu babak dalam umur terbaru. Mengintip seperempat abad baru, harap-harap haru. Siapa yang membantu menyulut api pada kue tak berasa itu? Gula-gula habis dimakan masa muda, sekarang lebih berharap tensi tak naik kala semesta sedang tidak berbaik hati. Mana pinggang-pinggang yang mulai muak dengan kursi nyaman di bawah kotak pendingin memerangi polusi kota ini? Mana pundak-pundak pondasi harapan namun selalu butuh sandaran yang tetap memasang topeng independen-nya?

Aku tidak pernah tahu apakah aku bisa menjadi bagian dari kota ini. Sebagian nyawaku terserak pada jalanan Surabaya yang teriknya terasa merasuk hingga tulang. Setiap ujung kota-nya memiliki cerita, dan tak dipungkiri, kadang kubenci. Ada kotak-kotak pengambilan gambar, yang kusimpan entah di mana. Manusia yang pernah bersama, juga sudah entah di mana. Ada kotak-kotak pencakar langit, hafal kutelusuri, namun meredup sudah lampunya. Ada orang-orang yang lalu-lalang, kini tinggal cerita yang bukunya kusimpan rapi. Tertumpuk, berdebu, di sudut, berusaha dilupakan. Namun untuk seperempat pertama hidupku, di sanalah hidupku dirajut. Meramu siapa aku, yang kemudian hilang dalam sekejap.

Pulang. Aku tidak pernah tahu kereta arah mana yang membawaku pada tujuan. Panahnya terputar, mencari arah rumah yang tidak kuketahui alamatnya. Kepada Timur yang pernah menjadi rumah tempat aku tumbuh, ataukah pada Barat tempat menempa cita-cita? Tempat aku menggantungkan sebagian harap, alih-alih untuk cinta, tapi lebih pada bertahan hidup. Mengisi kekosongan dengan riuh perkotaan yang segan menjadi sunyi, setidaknya agar isi kepalaku memiliki lawan yang sepadan. Menyelamatkan senyawa yang kosong, memberikan sedikit hidup agar ia tak mati kesepian. Memberikan aku sedikit cahaya, agar tak terduduk dalam gelap terus-menerus. 

Jakarta, Jakarta. Dua-ribu dua-puluh empat. 
Lima tahun lewat sudah dari terakhir aku menyentuhmu. Entah adakah aku yang tersisa dalam perjalanan ini. Ketika membuka memoar itu, ada aku yang lebih hidup. Lentera dan cinta. Harap dan ragu. Ada kamu, ada waktu. Aku berharap lembar ini tak menuliskan hal yang sama dengan lalu, walau garis besarnya masih seperti kaset rusak, berputar-putar-putar-putar-putar... 

Jakarta. Rapalan itu mulai terdengar seperti mantera. Mulai terdengar seperti putus asa. Linimasa tentangnya, kini tercantum seperti tipuan. Ilusi. Seperti halnya cinta dan obsesi, sekejap euforia kemudian mati. Adakah yang sejati? Atau memang alamat yang kumiliki telah kadaluwarsa? 

Jakarta, pulang sepertinya bukan opsi. Karena hatiku berpaling lagi. 


// rumah untuk hati, yang tidak lagi di sini. 
04.06.24; 02.19am


Tidak ada komentar:

Posting Komentar